Kamis, 30 Januari 2020

Geger Pecinan

GEGER PECINAN


Menurut video Youtube yang kami lihat, yang berjudul "Melawan Lupa -Geger Pacinan"
Geger Pacinan  atau Tragedi Angke, Dalam bahasa Belanda "Chinezenmoord" yang berarti "Pembunuhan orang Tionghoa" merupakan sebuah pogrom terhadap orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia Belanda. Kekerasan dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober-22 Oktober 1740, sedangkan berbagai pertempuran kecil terjadi hingga akhir November di tahun yang sama.

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.

Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa.Pada tanggal 25 Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll.

Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel pada tanggal 2 November. Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.

Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri.

Sebelum adanya voc etis-etis tionghoa dan etis-etis lainnya dulunya saling bahu-membahu. Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa, yang diduga dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong, membunuh 50 pasukan Belanda di Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober. Untuk menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan karena takut bahwa orang Tionghoa akan berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling kecil sekalipun. Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari Tangerang dan Bekasi, di tembok kota Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini, Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.

Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan mereka sebagai budak. Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Ini disusul oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia. Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa "wanita hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam serangan. Tahanan dibantai seperti domba."

Pasukan di bawah pimpinan Letnan Hermanus van Suchtelen dan Kapten Jan van Oosten, seorang serdadu Belanda yang selamat dari serangan di Tanah Abang, mengambil posisi di daerah pecinan: Suchtelen dan pasukannya menempatkan diri di pasar burung, sementara pasukan van Oosten mendapatkan pos dekat kanal. Sekitar pukul 17.00pm. Serdadu Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau melakukan bunuh diri. Yang berhasil mencapai kanal dibunuh oleh pasukan Belanda yang menunggu di perahu kecil, sementara pasukan Belanda lainnya mondar-mandir di antara rumah-rumah yang sedang terbakar, mencari dan membunuh orang Tionghoa yang masih hidup. Tindakan ini kemudian tersebar di seluruh kota Batavia. Menurut Vermeulen, sebagian besar pelaku merupakan pelaut dan unsur masyarakat lain yang "tidak tetap ataupun baik." Dalam periode ini ada banyak penjarahan dan penyitaan properti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar