GEGER PECINAN
Menurut video Youtube yang kami lihat, yang berjudul
"Melawan Lupa -Geger Pacinan"
Geger Pacinan
atau Tragedi Angke, Dalam bahasa Belanda "Chinezenmoord" yang
berarti "Pembunuhan orang Tionghoa" merupakan sebuah pogrom terhadap
orang keturunan Tionghoa di kota pelabuhan Batavia, Hindia Belanda. Kekerasan
dalam batas kota berlangsung dari 9 Oktober-22 Oktober 1740, sedangkan berbagai
pertempuran kecil terjadi hingga akhir November di tahun yang sama.
Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh
Belanda, banyak orang keturunan tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan
kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa mereka juga bertugas sebagai
pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.
Setelah berbagai kelompok buruh pabrik gula
keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat sendiri
untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa.Pada tanggal 25
Oktober, setelah hampir dua minggu adanya pertempuran kecil, 500 orang Tionghoa
bersenjata berangkat menuju Cadouwang (kini Angke), tetapi dihalau oleh
kavaleri di bawah pimpinan Ridmeester Christoffel Moll.
Perintah untuk gencatan senjata diterima Crummel
pada tanggal 2 November. Penjarahan berlangsung sampai tanggal 28 November, dan
pasukan pribumi terakhir dibebastugaskan pada akhir bulan itu.
Belanda mulai menembakkan meriam ke arah rumah orang
Tionghoa, sehingga rumah-rumah tersebut terbakar. Beberapa orang Tionghoa tewas
di rumah mereka, sementara yang lainnya ditembak saat keluar dari rumah atau
melakukan bunuh diri.
Sebelum adanya voc etis-etis tionghoa dan etis-etis
lainnya dulunya saling bahu-membahu. Setelah berbagai kelompok buruh pabrik
gula keturunan Tionghoa memberontak, dengan menggunakan senjata yang dibuat
sendiri untuk menjarah dan membakar pabrik, ratusan orang Tionghoa, yang diduga
dipimpin Kapitan Cina Ni Hoe Kong, membunuh 50 pasukan Belanda di Meester
Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada tanggal 7 Oktober. Untuk
menanggapi serangan ini, pemimpin Belanda mengirim 1.800 pasukan tetap yang
ditemani schutterij (milisi) dan sebelas batalyon wajib militer untuk
menghentikan pemberontakan; mereka melaksanakan jam malam dan membatalkan
perayaan Tionghoa yang sudah dijadwalkan karena takut bahwa orang Tionghoa akan
berkomplot pada malam hari, yang tinggal di dalam batas kota dilarang
menyalakan lilin dan disuruh menyerahkan semua barang, hingga pisau paling
kecil sekalipun. Pada hari berikutnya, pasukan Belanda berhasil menangkis suatu
serangan dari hampir 10.000 orang Tionghoa, yang dipimpin oleh kelompok dari
Tangerang dan Bekasi, di tembok kota Raffles mencatat sebanyak 1.789 warga
keturunan Tionghoa meninggal dalam serangan ini. Untuk menanggapi serangan ini,
Valckenier kembali mengadakan pertemuan Dewan Hindia pada tanggal 9 Oktober.
Sementara, gosip mulai tersebar dalam kelompok etnis
lain, termasuk budak dari Bali dan Sulawesi serta pasukan Bugis dan Bali, bahwa
orang Tionghoa berencana membunuh atau memerkosa orang pribumi, atau menjadikan
mereka sebagai budak. Untuk mencegah hal tersebut, kelompok-kelompok ini mulai
membakar rumah-rumah milik orang Tionghoa di sepanjang Kali Besar. Ini disusul
oleh serangan Belanda terhadap tempat tinggal orang Tionghoa di Batavia.
Politikus Belanda yang anti-kolonis W.R. van Hoëvell menulis bahwa "wanita
hamil dan yang sedang menyusui, anak kecil, dan para pria gaek jatuh dalam
serangan. Tahanan dibantai seperti domba."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar